Eropa sedang dilanda badai krisis ekonomi yang mengkhawatirkan. Di
Yunani, pemerintah harus berhadapan dengan rakyat yang berdemonstrasi,
mogok kerja untuk memprotes kebijakan penghematan yang diambil
pemerintahnya. Selama ini krisis keuangan dihadapi dengan kebijakan
penjualan surat obligasi, alias berhutang dan berhutang. Sekarang,..
ketika pemerintahnya dipaksa berhemat untuk menghindari kebangkrutan,
rakyat mengalami shock.
Yunani merupakan salah satu negara yang tergabung dalam sistem mata
uang bersama Eropa; EURO. Krisis itu jika tidak dapat diatasi
dikhawatirkan akan merembet ke negara-negara lain yang memiliki
persoalan serupa seperti Spanyol. Bahkan Italia dan Perancis juga
berkemungkinan menuai efek serupa.
Para politisi dan otoritas moneter Uni Eropa berdebat alot berjam-jam
untuk mengambil keputusan memangkas hutang Yunani hingga 50%.
Sebelumnya para pemimpin politik seperti Sarkozy dan Angela Merkel
meminta otoritas perbankan memangkas hutang itu hingga 60%. Sementara
pihak perbankan bersikukuh tidak mau menghapus hutang tersebut, dan
setiap penghapusan harus ada perhitungan kompensasi.
Menarik, mengapa pada akhirnya pihak perbankan mau menghapus hutang
hingga angka sebesar itu? Para pemimpin politik berjuang keras
menyadarkan bahwa jika Yunani bangkrut dan menjadi negara default
(gagal membayar hutang), akan menjatuhkan kredibilitas Uni Eropa di
mata negara-negara Eropa lain yang belum bergabung dalam mata uang
bersama Eropa, juga dihadapan pesaing yang lain seperti AS, China dan
Jepang.
Kedermawanan?
Negara-negara yang tergabung UE dengan mata uang tunggal Euro, telah
bersepakat sebagai satu tubuh, saling membantu satu dengan lainnya. Maka
ketika krisis menimpa Yunani, dan krisis itu berpotensi merambat kepada
negara-negara yang lain pengguna Euro, para pemimpin politik Eropa
menagih komitment untuk saling membantu itu.
Pemutihan itu bukan torehan sejarah kedermawanan ECB (European
Central Bank). Dibalik pemutihan itu, pihak Yunani dikenai konsekuensi
menjual asset-asset penting secara politis dan berbagai paket
penghematan belanja publik, pemangkasan upah dan pengurangan subsidi
yang menyengsarakan rakyat.
Keadaannya tak jauh berbeda saat Michael Camdessus dari IMF
bolak-balik ke Jakarta untuk menekan pemerintah Suharto agar mematuhi
komitment yang dibuat dengan IMF. Camdessus menyaksikan Suharto
menanda-tangani kesepakatan sambil berdiri melipat tangan di sampingnya.
Negara yang tergabung di dalam UE adalah negara sekuler-liberal
dengan sistem ekonomi kapitalistik. Spirit hidup dan nafas dasar mereka
adalah kebebasan individu seluas-luasnya, termasuk dalam penumpukan
kapital (modal) untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dengan
sistem ribawi yang mencekik.
Penghapusan hutang itu dalam rangka menyelamatkan masa depan mereka
sendiri sebagai komunitas, masa depan UE. Kegagalan Yunani -jika tidak
ditolong dengan pemutihan dan bailout- akan berdampak kepada
kehancuran sistem kesatuan UE dengan Euro-nya. Para pemimpin Eropa itu;
pemimpin politik dan pemilik perbankan, mereka sadar diri dan sadar
posisi. Mereka tidak mau dipermalukan di ‘teras’ rumahnya sendiri.
Karena itu mereka berjuang keras untuk keluar dari krisis yang tengah
melanda.
Referendum
Uniknya, PM Yunani George Papandreou berniat menghadapi paket bantuan
mengikat itu dengan referendum. Sebagai kepala pemerintahan, dia
memandang paket bantuan itu belum tentu disetujui rakyatnya. Sebab
uluran tangan otoritas moneter (ECB maupun IMF) itu menyertakan
konsekuensi yang harus dipikul, penghematan dan pengetatan dalam
berbagai belanja menyangkut kepentingan publik yang sensitif.
Para pemimpin Eropa marah atas rencana referendum itu. Tetapi bak buah
simalakama; jika diterapkan tanpa musyawarah dianggap tidak demokratis,
tidak berpihak kepada rakyat, mereka merasa dianiaya sehingga bisa
marah massal, hal yang dapat mengantarkan keruntuhan kabinet Papandreou,
sebaliknya jika dilakukan referendum kemudian rakyat Yunani menolak,
menuntut keluar dari UE, para Bankir tentu tidak akan toleransi dan
mengantarkan Yunani menjadi negara yang gagal bayar utang sehingga
dikeluarkan dari keanggotaan UE, dan ini mempermalukan mereka sendiri.
Fenomena Dilematis, ‘Bersatu Tetapi Saling Memakan’
Eropa itu kufur, tetapi mature (matang dan dewasa) dalam
kekafirannya, tidak kekanak-kanakan. Mereka benar-benar sadar sistem
hidup yang mereka pilih, tahu konsekuensi pilihan itu dan bersedia
membayar harganya. Mereka menunda sementara kenikmatan, karena jika hal
itu tidak dilakukan akan membahayakan kelangsungan hidup mereka sendiri.
Mereka saling menolong, tetapi bukan pertolongan yang tulus, hal itu
dikarenakan gaya hidup mereka yang sejati adalah individualistik, ananiyah, mementingkan diri-sendiri. Tak hanya itu, barat menganut gaya hidup comfort (mencari
kesenangan dan kenyamanan) sebagai sendi dasar kultur mereka yang
diwarisi dari kebudayaan Romawi kuno. (Muhammad Asad/Leopold Weiss,
dalam Islam at the Crossroads/Islam di Simpang Jalan).
Karenanya, paket pemutihan hutang dan bailout itu sesungguhnya disertai
dengan paket penghematan yang menggorok leher rakyat Yunani, ‘tak ada
makan siang gratis’.
Yang lebih substansial, pemutihan hutang itu sejatinya merupakan peragaan live dari firman Alloh :
Kalian sangka mereka (orang-orang kafir) itu bersatu, padahal hati mereka berpecah-belah. (QS. Al-Hasyr: 14).
Para bankir itu memberi sedikit untuk mendapatkan yang lebih banyak. Sebagai lawan dari firman Alloh :
Walaa tamnun tastaktsir (janganlah kamu memberi dengan harapan untuk mendapatkan yang lebih banyak).(QS. Al-Muddatstsir: 6).
Agenda Terselubung Barat
Asalnya, barat sebagai ‘binatang’ kapitalistik-individualis, dengan
Uni Eropa-nya bermaksud untuk memangsa bangsa ‘yang sedang berkembang’
sebagai obyek penderita ; penyedia bahan baku sekaligus pasar yang
mereka eksploitasi. Kali ini mereka terpaksa memakan ‘diri-sendiri’.
Kita sulit untuk mengerti, betapa sulitnya mengajak barat berbagi.
Adalah kenyataan, bahwa konsumsi seorang manusia di Namibia tidak lebih
besar dibanding jatah makan seekor anjing peliharaan di Perancis. Kini
Eropa diuji dengan memakan tubuhnya sendiri.
sumber : www.arrisalah.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar