Ada sejumlah perbedaan antara kawin
kontrak yang berlangsung di Jepara dan tempat lain seperti Puncak
Bogor. Sama-sama pelanggaran syari’at Islam, namun ada
perbedaan-perbedaannya. Mau tahu perbedaannya? Berikut ini uraiannya.
Jepara merupakan salah satu Kabupaten
yang berada di Provinsi Jawa Tengah, dengan luas daerah mencapai
1.004,16 kilometer persegi dan total penduduk mencapai 1.100.000 jiwa.
Meski menonjol sebagai Kota Ukir, sebenarnya Jepara punya banyak
potensi industri, seperti kerajinan dari besi, rotan, emas dan
sebagainya. Namun industri ukir sangat dominan, bahkan dapat ditemui
hampir di setiap Kecamatan yang ada. Seni ukir Jepara mulai
diperkenalkan pada abad 16 oleh Ratu Kalinyamat. Selain terkenal dengan
ukiran kayu yang khas, Jepara juga dikenal sebagai kota kelahiran RA
Kartini, salah satu wanita yang dibesar-besarkan pihak tertentu di
Indonesia.
Popularitas ukiran khas Jepara yang
membubung tinggi hingga ke mancanegara, memberikan dampak ikutan berupa
munculnya sub kultur baru berupa kawin kontrak khas Jepara. Disebut
khas Jepara, karena dalam banyak hal kawin kontrak yang terjadi di
Jepara mempunyai perbedaan dengan kawin kontrak khas Cisarua (kawasan
Puncak), Bogor, Jawa Barat.
- Perbedaan pertama, terletak pada pelakunya. Di kawasan Puncak, pelakunya adalah pria berwajah Timur Tengah dengan wanita lokal. Sedangkan di Jepara, pria pelaku kawin kontrak umumnya berwajah Eropa atau akrab disebut dengan istilah londo.
- Perbedaan kedua, terletak pada jangka waktu pelaksanaan kawin kontrak. Di kawasan Puncak, kawin kontrak ada yang berumur satu hari, bahkan hanya beberapa jam, sebagaimana pria hidung belang menyewa pelacur. Bisa juga mingguan. Paling lama satu bulan. Sedangkan di Jepara, kawin kontrak paling sedikit berlangsung dua tahun, paling lama sepuluh tahun.
- Ketiga, pelaku kawin kontrak di Puncak, umumnya turis yang mencari hiburan dan kepuasan duniawi lainnya. Sedangkan di Jepara, praktik kawin kontrak umumnya dilakoni pelaku bisnis mebel, atau orang kepercayaan sebuah industri mebel di negara-negara Eropa, atau tenaga kontrak pada industri berat di sekitar Jepara, misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati, Jepara.
- Keempat, pria berwajah Timur Tengah pelaku kawin kontrak di kawasan Puncak, diduga beragama Islam. Sehingga tidak ditemukan adanya prosesi meng-Islam-kan yang bersangkutan. Sedangkan di Jepara, pria pelaku kawin kontrak diduga non-Muslim, sehingga dapat ditemukan proses meng-Islam-kan yang bersangkutan sebelum akad nikah terjadi.
- Kelima, kawin kontrak di kawasan Puncak, sangat pekat aroma prostitusinya dan segala tipu daya yang menyertainya. Sehingga sepak terjang wanita pelaku kawin kontrak di kawasan Puncak ini, umumnya tidak diketahui pihak keluarganya. Sedangkan di Jepara, wanita pelaku kawin kontrak sepak terjangnya diketahui pihak keluarga, bahkan direstui. Oleh karena itu dapat ditemukan adanya semacam prosesi perkenalan antara calon ‘mempelai’ pria dengan keluarga wanita lokal.
Meski tahapan kawin kontrak versi
Jepara dibungkus dengan prosesi nikah sirri (yang tidak dicatat pada
KUA), namun hal itu bukanlah sebuah perkawinan yang benar menurut
Islam. Karena tujuan perkawinan berjangka ala Jepara ini berbeda dengan
tujuan perkawinan yang dimaksud Islam.
Persamaannya, pelaku kawin kontrak
berasal dari kalangan kurang paham agama, bahkan cenderung tidak
peduli, bermotif ekonomis, bertujuan meningkatkan kesejahteraan diri
dan keluarganya.
Pada tahun 2005, Dian Wida Kiswari
menyoroti lemahnya posisi kaum perempuan dalam status kawin kontrak di
Jepara, dengan menjadikan tujuh pasang perempuan lokal yang melakukan
kawin kontrak dengan warga asing. Lokasi yang dipilih, salah satu
kabupaten di Jepara.
Menurut Wida, kawin kontrak tersebut
ditempuh untuk memperlancar aktivitas bisnis para warga asing tadi.
Sebagai warga negara asing, mereka tidak bisa memiliki perusahaan,
tidak boleh membeli tanah, dan tidak boleh mendirikan bangunan. Untuk
mengatasi hal itu, para pebisnis warga asing itu memanfaatkan pasangan
kawin kontraknya. Mereka menggunakan nama wanita pasangan kawin
kontraknya untuk keperluan bisnis, seperti membeli tanah, rumah, dan
mendirikan perusahaan.
Sebenarnya, menurut Wida, wanita
pasangan kawin kontrak warga asing itu, tidak saja dari sekitar Jepara,
tetapi ada juga yang berasal dari Jakarta, Bali, Boyolali dan Jawa
Barat. Namun demikian, pelaku kawin kontrak dari luar Jepara tadi,
tinggal di Jepara setidaknya selama masa kawin kontraknya masih berlaku.
Motif bisnis hanyalah salah satu saja
dari latar belakang yang mendorong warga asing tadi melakukan kawin
kontrak. Alasan lain yang cukup dominan adalah pemenuhan syahwat selama
mereka menjalani bisnis di Jepara. Upaya ini ditempuh karena dinilai
lebih ekonomis dibanding dengan menyewa pelacur. Jadi, praktik kawin
kontrak ini boleh dibilang jauh dari dimensi ideologis, meski para
warga asing itu mengikuti ketentuan ‘masuk Islam’ (membaca dua kalimat
syahadat) sebelum akhirnya menempuh prosesi nikah sirri untuk dalam
jangka tertentu (kawin kontrak). Kepentingan ekonomi, bisnis dan
syahwat menjadi panglima meski mereka harus masuk Islam.
Status wanita lokal yang dinikahi warga
asing tadi, adalah sebagai istri kedua, ketiga bahkan keempat. Dan itu
tidak dipermasalahkan oleh sang wanita dan keluarganya. Menurut Wida,
“…Karena alasan ekonomi, justru banyak orang tua mendukung perkawinan
tersebut…”
Salah satu wanita muda yang merasa
beruntung dengan model kawin kontrak ala Jepara ini, adalah “temannya
Chifuya” seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Semarang, Jawa
Tengah. Menurut Chifuya, ketika ia sedang menempuh pendidikan di
Semarang, sekitar awal 2000-an, ia bertemu dengan seorang gadis asal
Jepara yang saat itu berusia antara 18-20 tahun.
Chifuya yang senang mempelajari bahasa
asing ini, bertemu dengan sang gadis Jepara ini di tempat kursus
bahasa. Si Gadis Jepara kursus bahasa Belanda, karena suami pasangan
kawin kontraknya adalah warga Belanda. Selain disekolahkan, gadis
Jepara ini punya usaha bersama di bidang furniture dan parsel.
Sehingga, ketika masa kawin kontrakya berakhir, sang gadis Jepara ini
tetap bisa mandiri, mengelola bisnis furniture dan parsel yang
dirintisnya bersama pria warga Belanda pasangan kawin kontraknya. Namun
menurut Chifuya, tidak semua pria asing sebaik itu.
Faktanya memang demikian. Hal ini
sebagaimana terjadi pada Santi (berusia 27 tahun pada tahun 2007).
Santi yang menikah dengan Francisco Frisson (warga Italia) selama
sembilan tahun dan menghasilkan tiga orang anak, memutuskan tali
perkawinannya di pengadilan.
Santi mengenal Francisco Frisson yang
berusia lebih tua 12 tahun, di tempat kerjanya. Usai menempuh
pendidikan di IKIP Semarang (Jurusan Ilmu Administrasi), Santi memang
bekerja di sebuah perusahaan mebel berorientasi ekspor di Tahunan,
salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara. Karena sering
bertemu di tempat kerja, akhirnya Santi jadi mengenal Francisco.
Semula Santi mengenal Francisco sebagai
orang bule yang berperilaku baik, berbeda dengan bule lainnya yang
cenderung sangat bebas. Santi juga tahu, bahwa Francisco adalah broker
bisnis furniture yang sedang bangkrut karena kehilangan kepercayaan
dari kliennya di Italia. Santi pun iba. Dari perasaan iba melahirkan
cinta.
Perasaan cinta itulah yang mendorong
Santi membantu Francisco keluar dari kemelut bisnisnya. Perasaan cinta
itu pulalah yang mendorong Santi nikah dengan Francisco di KUA (Kantor
Urusan Agama) setempat, meski kedua orangtua Santi pada dasarnya tidak
menyetujui perkawinan tersebut.
Bisnis yang dijalankan Santi dan
Francisco meski dimulai dari kuncup, namun berhasil dikembangkan,
hingga mereka mampu membukukan pesanan sebanyak empat kontainer per
bulan, dan mampu membeli gudang seluas 5.000 meter persegi.
Sukses berbisnis menghasilkan uang
melimpah. Namun sayangnya, uang yang melimpah membuat Francisco lupa
diri, ibarat kacang lupa pada kulitnya. Perangai Francisco berubah. Ia
gemar melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), antara lain pernah
menendang Santi saat sang istri itu hamil sembilan bulan, sekitar
sepekan sebelum melahirkan. Bahkan Francisco tidak pernah menunggui
Santi saat sebelum dan sesudah proses melahirkan berlangsung. Lebih
jauh, Francisco mengubah status perusahaan milik mereka berdua menjadi
PMA (penanaman modal asing) atas nama Francisco dan anak-anaknya.
Namun Santi bukanlah perempuan yang
lemah. Sebagai perempuan Jepara yang tangguh, ia berhasil menguasai
keadaan. Bahkan ia diberi hak asuh oleh pengadilan terhadap ketiga
anaknya buah perkawinan dengan Francisco. Ketika bercerai dengan Santi,
Francisco dalam keadaan bangkrut (kembali).
***
Begitulah fenomena kawin kontrak ala
Jepara. Ada tiga kerugian yang kita derita sebagai umat Islam sekaligus
sebagai bangsa Indonesia:
– Pertama, anak-anak perempuan kita dijadikan alat pelancar bisnis dan pemuas syahwat.
a. Kedua, bisnis furniture ukiran khas Jepara kita dikuasai asing.
b. Ketiga, agama Islam dilecehkan melalui prosesi nikah mut’ah (kawin kontrak) yang bermotif ekonomi dan syahwat.
Inilah tiga dosa besar pemimpin kita di
Jepara, Jawa Tengah, dan di Indonesia pada umumnya. Kelak para
pemimpin itu akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Hukum Kawin Kontrak
Kawin kontrak atau nikah mut’ah itu telah dilarang dalam Islam.
3496 – وَحَدَّثَنِى سَلَمَةَ بْنُ
شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنِ
ابْنِ أَبِى عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ «
أَلاَ إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ». صحيح مسلم – (ج 4 / ص
134)
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia
berkata: Kami bersama Nabi Muhammad SAW dalam suatu perjalanan haji.
Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu
dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut,
sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku
itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut seperti selimut._
Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan
harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi SAW
sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan Hijir Ismail. Beliau
bersabda: Wahai sekalian manusia, Aku pernah mengizinkan kepada kalian
untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang mempunyai istri
dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu
yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi.
Karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat._
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
(II/ 1024), Imam Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud (II/ 226,
2072), Imam Ibnu Majah dalam kitabnya Sunan Ibnu Majah (I/ 631), Imam
al-Nasa’i dalam kitabnya _Sunan al-Nasa’i (VI/ 1303), Imam al- Darimi
dalam kitabnya _Sunan al-Darimi (II/ 140) dan Imam Ibnu Syahin dalam
kitabnya _al- Nasikh wa al- Mansukh min al-Hadits hal 215).
Dalil Hadits lainnya:
4825 – حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ
يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ صحيح البخاري – (ج 5 / ص 1966)
Dari Ali bin Abi Tholib r.a. ia
berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW melarang nikah
mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (Ibnu hajar al-Asqolani,
_Fath al- Bari, IX/71), Imam al- Tirmidzi (al-Mubarokafuri, Tuhfah
al-Ahwadzi, IV/225), Imam Malik bin Anas dalam kitabnya al-Muwatta’,
(I/427), Imam Ibni Hibban (Ibn Balban, Shahih Ibn Hibban bi Tartib Ibn
Balban IX/ 448, 450), Imam al-Baihaqi dalam kitabnya _al-Sunan
al-Kubra_, VII/ 327), Imam al-Daruqutni dalam kitabnya _Sunan
al-Daruqutni_, III/ 141) dan Imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya
_al-Kitab al- Mushannaf III/ 147).
Dalam uraian di atas, para pemimpin harus bertanggung jawab. Karena dalam hadits ditegaskan:
1084 حَدِيثُ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ
بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ
عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya :”Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, aku telah mendengar, Rosulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.:”Ingatlah
setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab
atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin
dalam rumah tangga, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas
kepemimpinanya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan
akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinanya. Dan hamba adalah
pemimpin dalam menjaga harta kekayaan tuannya, dan akan dimintai
pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Dan tiap kamu adalah pemimpin,
dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kalau toh di dunia ini mereka yang
harus bertanggung jawab itu dapat mengajukan aneka kilah untuk lepas
tanggung jawab, hal itu tidak akan dapat mereka lakukan (untuk
berkelit) di akherat kelak. Sedangkan jabatan kepemimpinan dan
semacamnya sudah tidak ada gunanya lagi. Tinggal menerima balasannya.
Maka takutlah kapada Allah dengan sebenar-benar taqwa, sebelum nyawa
kita dicabut oleh malaikat maut, wahai para hamba Allah. Karena
penyesalan kelak di akherat sudah tidak ada gunanya lagi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar